Friday, July 12, 2019

PERBEDAAN PERJANJIAN DAN PERIKATAN

Kata perjanjian dan kata perikatan merupakan istilah yang telah dikenal dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Pada dasarnya KUHPerdata tidak secara tegas memberikan definisi dari perikatan, akan tetapi pendekatan terhadap pengertian perikatan dapat diketahui dari pengertian perjanjian dalam Pasal 1313 KUH Perdata yang didefinisikan sebagai suatu perbuatan hukum dengan mana salah satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

Sekalipun dalam KHUPerdata definisi dari perikatan tidak dipaparkan secara tegas, akan tetapi dalam pasal 1233 KUHPerdata ditegaskan bahwa perikatan selain dari Undang-undang, perikatan dapat juga dilahirkan dari perjanjian. Dengan demikian suatu perikatan belum tentu merupakan perjanjian sedangkan perjanjian merupakan perikatan. Dengan kalimat lain, bila definisi dari pasal 1313 KUHPerdata tersebut dihubungkan dengan maksud dari pasal 1233 KUHPerdata, maka terlihat bahwa pengertian dari perikatan, karena perikatan tersebut dapat lahir dari perjanjian itu sendiri.

Sebagai bahan perbandingan untuk membantu memahami perbedaan dua istilah tersebut, perlu dikutip pendapat Prof Subekti dalam bukunya Hukum Perjanjian mengenai perbedaan pengertian dari perikatan dengan perjanjian. Beliau memberikan definisi dari perikatan sebagai berikut:

“Suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.”

Sedangkan perjanjian didefinisikan sebagai berikut:

“Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.”

Hakekat antara perikatan dan perjanjian pada dasarnya sama, yaitu merupakan hubungan hukum antara pihak-pihak yang diikat didalamnya, namun pengertian perikatan lebih luas dari perjanjian, sebab hubungan hukum yang ada dalam perikatan munculnya tidak hanya dari perjanjian tetapi juga dari aturan perundang-undangan. Hal lain yang membedakan keduanya adalah bahwa perjanjian pada hakekatnya merupakan hasil kesepakatan para pihak, jadi sumbernya benar-benar kebebasan pihak-pihak yang ada untuk diikat dengan perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata. Sedangkan perikatan selain mengikat karena adanya kesepakatan juga mengikat karena diwajibkan oleh undang undang, contohnya perikatan antara orangtua dengan anaknya muncul bukan karena adanya kesepakatan dalam perjanjian diantara ayah dan anak tetapi karena perintah undang-undang. 

Selain itu, perbedaan antara perikatan dan perjanjian juga terletak pada konsekuensi hukumnya. Pada perikatan masing-masing pihak mempunyai hak hukum untuk menuntut pelaksanaan prestasi dari masing-masing pihak yang telah terikat. Sementara pada perjanjian tidak ditegaskan tentang hak hukum yang dimiliki oleh masing-masing pihak yang berjanji apabila salah satu dari pihak yang berjanji tersebut ternyata ingkar janji, terlebih karena pengertian perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata menimbulkan kesan seolah-olah hanya merupakan perjanjian sepihak saja. Definisi dalam pasal tersebut menggambarkan bahwa tindakan dari satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih, tidak hanya merupakan suatu perbuatan hukum yang mengikat tetapi dapat pula merupakan perbuatan tanpa konsekuensi hukum.

Konsekuensi hukum lain yang muncul dari dua pengertian itu adalah bahwa oleh karena dasar perjanjian adalah kesepakatan para pihak, maka tidak dipenuhinya prestasi dalam perjanjian menimbulkan ingkar janji (wanprestasi), sedangkan tidak dipenuhinya suatu prestasi dalam perikatan menimbulkan konsekuensi hukum sebagai perbuatan melawan hukum (PMH). 

Berdasarkan pemahaman tersebut jelaslah bahwa adanya perbedaan pengertian antara perjanjian dan perikatan hanyalah didasarkan karena lebih luasnya pengertian perikatan dibandingkan perjanjian. Artinya didalam hal pengertian perjanjian sebagai bagian dari perikatan, maka perikatan akan mempunyai arti sebagai hubungan hukum atau perbuatan hukum yang mengikat antara dua orang atau lebih, yang salah satu pihak mempunyai kewajiban untuk memenuhi prestasi tersebut. Bila salah satu pihak yang melakukan perikatan tersebut tidak melaksanakan atau terlambat melaksanakan prestasi, pihak yang dirugikan akibat dari perbuatan melawan hukum tersebut berhak untuk menuntut pemenuhan prestasi atau penggantian kerugian dalam bentuk biaya, ganti rugi dan bunga.

Uraian diatas memperlihatkan bahwa perikatan dapat meliputi dua arti, yaitu pada satu sisi sebagai perjanjian yang memang konsekuensi hukumnya sangat tergantung pada pihak-pihak yang terikat didalamnya, dan pada sisi lain merupakan perikatan yang mempunyai konsekuensi hukum yang jelas. Sekalipun perjanjian sebagai suatu perikatan muncul bukan dari undang-udang tetapi memiliki kekuatan hukum yang sama dengan perikatan yang muncul dari undang-undang, yaitu berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang diikat didalamnya.

MANFAAT DAN FUNGSI PERENCANAAN PEMBELAJARAN

1.         Manfaat perencanaan pembelajaran
Ada beberapa manfaat perencanaan pembelajaran , di antaranya adalah:
a.    Dengan perencanaan yang matang dan akurat, akan dapat diprediksi seberapa besar keberhasilan yang akan dicapai.
Oleh kasrena itu  akan terhindar dari keberhasilan yang sifatnya untung-untungan sebab segala kemungkinan kegagalan sudah dapat diantisipasi oleh guru. Dalam perencanaan, guru harus paham tujuan apa yang akan dicapai, strategi apa yang tepat dilakukan sesuai dengan tujuan yang akan dicapai, dan dari mana sumber belajar yang dapat digunakan.

b.        Sebagai alat untuk memecahkan masalah.
Dengan perencanaan yang matang, maka segala kemungkinan dan masalah yang akan timbul dapat diantisipasi sehingga dapat diprediksi pula jalan penyelesaiannya.
c.         Untuk memanfaatkan berbagai sumber belajar secara tepat.
Dengasn perencanaan yang tepat, maka guru dapat menentukan sumber-sumber belajar yang dianggap tepat untuk mempelajari suatu bahan pembelajaran sebab saat ini banyak sekali sumber belajar yang ditawarkan baik melalui media cetak maupun elektronik.
d.        Perencanaan akan membuat pembelajaran berlangsung secara sistematis.
Dengan perencanaan yang baik, maka pembelajaran tidak akan berlangsung seadanya, tetapi akan terarah dan terorganisir dan guru dapat memanfaatkan waktu seefektif mungkin untuk mencapai tujuan pembelajaran.

2.         Fungsi perencanaan pembelajaran
Perencanaan pembelajaran mempunyai beberapa fungsi di antaranya sebagai berikut:
a.    Fungsi kreatif
Pembelajaran dengan menggunakan perencanaan yang matang akan dapat memberikan umpan balik yang dapat menggambarkan berbagai kelemahan yang ada sehingga akan dapat  meningkatkan dan memperbaiki program.
b.    Fungsi Inovatif
Suatu inovasi pasti akan muncul jika direncanakan karena adanya kelemahan dan kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Kesenjangan tersebut akan dapat dipahami jika kita memahami proses yang dilaksanakan secara sistematis dan direncanakan dan diprogram secara utuh.
c.    Fungsi selektif
Melalui proses perencanaan akan dapat diseleksi strategi mana yang dianggap lebih efektif dan efisien untuk dikembangkan. Fungsi selektif ini juga berkaitan dengan pemilihan materi pelajaran yang dianggap sesuai dengan tujuan pembelajaran.  
d.   Fungsi Komunikatif
Suatu perencanaan yang memadai harus dapat menjelaskan kepada setiap orang yang terlibat, baik guru, siswa, kepala sekolah, bahkan pihak eksternal  seperti orang tua dan masyarakat. Dokumen perencanaan harus dapat mengkomunikasikan kepada setiap orang baik mengenai tujuan dan hasil yang hendak dicapai dan strategi yang dilakukan.
e.    Fungsi prediktif
Perencanaan yang disusun secara benar dan akurat, dapat menggambarkan apa yang akan terjadi setelah dilakukan suatu tindakan sesuai dengan program yang telah disusun. Melalui fungsi prediktifnya, perencanaan dapat menggambarkan berbagai kesulitan yang akan terjadi, dan menggambarkan hasil yang akan diperoleh.
f.     Fungsi akurasi
Melalui proses perencanaan yang matang, guru dapat mengukur setiap waktu yang diperlukan untuk menyampaikan bahan pelajaran tertentu, dapat menghitung jam pelajaran efektif.
g.    Fungsi pencapaian tujuan
Mengajar bukanlah sekedar menyampaikan materi, tetapi juga membentuk manusia yang utuh yang tidak hanya berkembang dalam aspek intelektualnya saja, tetapi juga dalam sikap dan ketrampilan. Melalui perencanaan yang baik, maka proses dan hasil belajar dapat dilakukan secara seimbang.
h.    Fungsi kontrol
     Mengontrol keberhasilan siswa dalam mencapai tujuan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam suatu proses pembelajaran. Melalui perencanaan akan dapat ditentukan sejauh mana materi pelajaran telah dapat diserap oleh siswa dan dipahami, sehingga akan dapat memberikan balikan kepada guru dalam mengembangkan program pembelajaran selanjutnya.

MANFAAT PENDEKATAN SISTEM DALAM PEMBELAJARAN

Manfaat merencanakan pembelajaran dengan pendekatan sistem di antaranya sebagai berikut:
  1. Dengan pendekatan sistem, arah dan tujuan pembelajaran dapat direncanakan dengan jelas. Dengan tujuan yang jelas, maka kita dapat menetapkan arah dan sasaran dengan pasti. Perumusan tujuan merupakan salah satu karakteristik pendekatan sistem. Penentuan komponen-komponen pembelajaran pada dasarnya diarahkan untuk mencapai tujuan. Melalui pendekatan sistem, setiap guru dapat lebih memahami tujuan dan arah pembelajaran untuk menentukan langkah-langkah pembelajaran dan pengembangan komponen yang lain, dan dapat dijadikan kriteria efektivitas proses pembelajaran. 
  2. Pendekatan sistem menuntun guru pada kegiatan yang sistematis. Berpikir secara sistem adalah berpikir runtut, sehingga melalui langkah-langkah yang jelas dan pasti memungkinkan hasil yang diperoleh akan maksimal.
  3. Pendekatan sistem dapat merancang pembelajaran dengan mengoptimalkan segala potensi dan sumber daya yang tersedia. Jadi berpikir sistematis adalah berpikir bagaimana agar tujuan yang telah ditetapkan dapat dicapai oleh siswa.
  4. Pendekatan sistem dapat memberikan umpan balik. Melalui umpan balik, dalam pendekatan sistem, dapat diketahui apakah tujuan telah berhasil dicapai atau belum.

KOMPONEN SISTEM PEMBELAJARAN

Perencanaan pembelajaran adalah proses pengambilan keputusan hasil berpikir secara rasional tentang sasaran dan tujuan pembelajaran tertentu, serta rangkaian kegiatan yang harus dilaksanakan sebagai upaya pencapaian tujuan tersebut dengan memanfaatkan segala potensi dan sumber belajar yang ada. Perencanaan pembelajaran mengarah pada proses penterjemahan kurikulum yang berlaku. 
Sistem pembelajaran mempunyai beberapa komponen di antaranya:
1. Siswa
Proses pembelajaran pada hakikatnya diarahkan untuk membelajarakan siswa agar dapat mencapai tujuan yang telah ditentukan. Keputusan-keputusan yang diambil dalam perencanaan pembelajaran disesuaikan dengan kondisi siswa yang bersangkutan sesuai dengan kemampuan dasar, minat dan bakat, motivasi belajar, dan gaya belajar siswa itu sendiri.
2. Tujuan
Tujuan adalah komponen terpenting dlam pembelajaran setelah kom[ponen siswa sebagai subjek belajar. Tujuan penyelenggaraan pendidikan diturunkan dari visi dan misi lembaga pendidikan itu sendiri.
3. Kondisi
Kondisi adalah berbagai pengalaman belajar yang dirancang agar siswa daapt mencapai tujuan khusus yang telah dirumuskan. Pengalaman belajar harus mendorong agar siswa aktif belajar baik secara fisik maupun nonfisik. Merencanakan pendidikan adalah menyediakan kesempatan pada siswa untuk belajar sesuai dengan gaya belajar mereka sendiri. Tekanan dalam menentukan kondisi belajar adalah siswa secara individual.
4. Sumber belajar
Sumber belajar berkaitan dngan segala sesuatu yang memungkinkan siswa dapat memperoleh pengalaman belajar meliputi lingkungn fisik, bahan dan alat yang dapat digunakan, personal, petugas perpustakaan, ahli media, dn semua orang yang berpengaruh baik langsung maupun tidak langsung untuk keberhasilan dalam pengalaman belajar.
5. Hasil belajar
Hasil belajar berkaitan dengan pencapaian dalam memperoleh kemampuan sesuai dengan tujuan khusus yang direncanakan. Jadi ugas utama guru adalah merancang instrumen yang dapat mengumpulkan data tentang keberhasilan siswa mencapai tujuan pembelajaran.
Pembelajaran merupakan sutu sistem yang kompleks yang keberhasilannya dapat dilihat dari dua aspek, yaitu aspek produk dan aspek proses. Keberhasilan pembelajaran dilihat dari sisi produk adalah keberhasilan siswa mengenai hasil yang diperoleh dengan mengabaikan proses pembelajaran. Keberhasilan pembelajaran dilihat dari sisi hasil memang mudah dilihat dan ditentukan kriteriannya, tetapi dapt mengurangi makna proses pembelajaran sebagai proses yang mengandung nilai-nilai pendidikan.

Sebagai suatu sistem, pembelajaran akan dipengaruhi oleh beberapa unsur yang membentuknya. Beberapa unsur yang dapat mempengaruhi kegiatan proses pembelajaran di antaranya guru, siswa, sarana, alat dan media, dan lingkungan. 
a. Guru
Guru merupakan komponen yang menentukan keberhasilan suatu sistem pembelajaran sebab guru merupakan orang yang secara langsung berhadapan dengan siswa. Sebagai perencana, guru dituntut untuk memahami secara benar kurikulum yang berlaku, karakteristik siswa, fasilitas dan sumber daya yang ada, sehingga semuanya dapat dijadikan komponen-komponen dalam menyusun rencana dan desain pembelajaran. Sebagai implementator dan desainer pembelajaran, guru brperan sebagai model atau teladan bagi siswa dan sebagai pengelola pembelajaran. 
b. Siswa
Siswa adalah organisme yang unik yang berkembang sesuai dengan tahap perkembangannya. Perkembangan anak adalah perkembangan seluruh aspek kepribadiannya, tetapi tempo dan irama perkembangan masing-masing anak pada setiap aspek tidak selalu sama. Proses perkembangan dapat dipengaruhi oleh perkembangan anak yang tidak sama, dan karakteristik lain yang melekat pada diri anak. 
c. Sarana dan prasarana 
Sarna adalah segala sesuatu yang mendukung secara langsung terhadap kelancaran proses pembelajaran, misalnya media pembelajaran, alat-alat pelajaran, perlengkapan sekolah, dan lain sebagainya. Prasarana adalah segala sesuatu yang secara tidak langsung dapat menduukng keberhasilan proses pembelajaran misalnya jalan menuju sekolah, penerangan sekolah, kamar kecil, dan lain sebagainya. Kelengkapan sarana dan prasarana akan dapat membantu gfuru dalam penyelenggaraan proses pembelajaran. 
d. Lingkungan
Ditinjau dari segi lingkungannya, ada 2 faktor yang dapat mempengaruhi prose pembelajaran yaitu faktor organisasi kelas dan faktor iklim sosial psikologis. Faktor organisasi kelas di dalamnya meliputi jumlah siswa dalam satu kelas yang merupakan aspek penting yang dapat mempengaruhi proses pembelajaran.Faktor iklim sosial psikologis adalh keharmonisan hubungan antara orang yang terlibatdalam proses pembelajaran yang dapat terjadi secara internal atau eksternal.

ALIRAN FILSAFAT NON-POSITIVISME

Non-positivisme adalah satu cara pandang open mind untuk mendapatkan keunikan informasi serta tidak untuk generalisasi, yang entry pouint pendekatannya berawal dari pemaknaan untuk menghasilkan teori dan bukan mencari pembenaran terhadap suatu teori ataupun menjelaskan suatu teori, dikarenakan kebenaran yang diperoleh ialah pemahaman terhadap teori yang dihasilkan. Untuk ini dalam non positivisme terdapat tiga hal penyikapan, yaitu:
 Memusatkan perhatian pada interaksi antara actor dengan dunia nyata
 Actor manusia pelaku ekonomi maupun dunia ekonomi senyatanya perlu dipandang sebagai proses dinamis dan bukan sebagai sturktur yang statis
 Arti penting yang terkait dengan kemampuan actor pelaku ekonomi untuk menafsirkan kehidupan sosialnya.

Dalam interaksi sosial, non-positivistic mengakomodir perhatian pada kajian penjelasan aktor pelaku maupun cara cara penjelasannya dapat diterima atau ditolak oleh fihak lain.

NON POSITIVISME DALAM ILMU EKONOMI.
Dalam konteks filsafat ilmu, ilmu ekonomi termasuk bagian ilmu sosial, yang dapat diterapkan langsung dalam kehidupan praktis, sebagaimana disebutkan Paul A. Samuelson sebagai ilmu yang beruntung (fortunate), karena dapat diterapkan langsung pada kebijakan umum (public policy). Pemahaman ini sejalan dengan Landreth, H et al.(1994; 1) bahwa Ilmu ekonomi adalah sebuah sains sosial (Economics is a social science). Semboyan positivisme “savoir pour previor” (mengetahui untuk meramalkan), yang menurut pandangan ekonom non-mainstream sebagai metodologi yang sepertinya elegan dalam menciptakan model rekayasa masyarakat (socialengineering) namun disadari maupuh tidak, pada nyatanya bersifat artificial. Metodologi ilmu ekonomi positif bersifat formal dan abstrak; metodologi berusaha untuk memisahkan kekuatan-kekuatan ekonomi dari kekuatan politik dan sosial, Sebagaimana dikemukakan Landreth,H et al.(1994;10), ‘The methodology of positive economics is formal and abstract; it tries to separate economic forces from political and social forces’.

Dasar pemikiran klasik dalam mengemukakan teori pasar menjadi bukti penunjuk tentang diampunya pandangan positivisme, dengan pendapatnya bahwa perekonomian akan efisien bila ada persaingan bebas. Selanjutnya persaingan bebas akan memerlukan pasar-bebas sebagai wadahnya. Bertolak pada hal ini, hiduplah suatu pola pikir akademik (academic mindset), bahwa persaingan haruslah bebas dan pasar yang ideal adalah pasar-bebas. Persaingan dan pasar bebas, keduanya adalah dua pasangan yang akan menjamin manfaat optimal, yakni efisiensi ekonomi. Menurut Smith, persaingan sempurna (perfect competition), kebebasan individual sepenuhnya adalah perfect individual liberty. Pamrih pribadi (self-interest) Smith ini kemudian bertemu dengan individualismenya Thomas Hobbes.

Pelaku ekonomi adalah makhluq rochaniah, yang memiliki idea, nilai nilai, harapan harapan tertentu sesuai dengan kesadarannya, sebagai seperangkat fenomena responsibilitasnya tidak akan tepat bilamana dibaca sebagai tindakan yang otomatik ataupun mekanistik maupun matematik dan statistik. Kegiatan ekonomi adalah merupakan fenomena sosial (fenomena manusia sebagai makhluq rochaniah) akan dapat dipahami setepat tepatnya hanya dengan memahami dunia makna yang hidup pada mindset para pelakunya, yakni pelakunya itu sendiri yang dinamik dan unik. Subyek pelaku berperan kuat dalam memaknai dan kemudian menyikapi dinamika ekonomi. Pemaknaan & penyikapan ini tidak berhenti pada dunia yang dihayati oleh individu pelaku ekonomi, namun pula melibatkan makna penafsiran yang terungkap karena penghayatan pada fenomena itu. Dengan lain kata dalam maksud yang sama ; permasalahan ekonomi yang menyangkut perilaku ekonomi bilamana dipaksakan dengan positivisme maka hasil yang diperoleh tiada lain adalah pembenahan pembenahan, tidak muncul teori baru, dan amat besar kemungkinannya akan menghasilkan kontroversi yang tidak Diametrika Paradigma Penelitian Ilmu Ekonomi – sonny Leksono 15 terselesaikan dalam menentukan kebijakan ekonomi karena padanya adalah sebuah hasil spekulatif dari sebuah stereotipe. Karena dengan sifatnya yang predictable, positivisme sejalan dengan teorinya seakan sudah “dapat menentukan atau menduga” hasil dari sejak penelitian belum dilaksanakan secara deterministic.

Bilamana kejadian yang probabilistic, terjadi diluar dugaan sebagaimana menjadi prediksi awal, maka positivisme juga telah – siap - memiliki jawaban bahwa penyimpangan itu adalah sebagai “error”, atau membela diri dengan mengatakan; sebagai bagian dari variable yang tidak diamati. Studi yang masuk dalam wilayah ilmu-ilmu sosial, tak bisa dipahami dengan cara-cara distansi atau disekap sebagai obyek manipulasi dan didesain dengan model-model kalkulatif. Peneliti hanya bisa bersikap “memasuki” wilayah ini dengan pemahaman (verstehen) (Hardiman; 2002 : 28) sebab yang diharapkan ditemukan dalam studi ini bukanlah hubungan sebab-akibat yang bersifat pasti, namun tentang dunia makna. Disini diperlukan “mata (hati) seorang manusia” yang dapat memahami makna, bukan “mata seorang biologi atau fisikawan atau matematikawan”. Dalam konteks ini peneliti tidak lebih tahu daripada pelaku ekonomi itu sendiri. Karenanya, paradigma non positivisme selalu berupaya menjelaskan fenomena yang ada, yaitu memahami makna yang berada dibalik fenomena. Tujuan pilihan metode pendekatan, paradigma dan model yang tepat untuk memperoleh gambaran menyeluruh yang holistik mengenai realitas ekonomi menurut penelitian kualitatif yang benar adalah bukan to learn about the people, akan tetapi to learn from the people. Dengan ini pula dapat ditegaskan bahwa sesuatu jenis penelitian yang diskriptif adalah bukan penelitian kualitatif karena masih membawa anasir yang positivistic.

Diametrika Paradigma Penelitian Ilmu Ekonomi – sonny Leksono 16 Karakter utama pendekatan kualitatif ini adalah mengkedepankan makna, konteks dan perpektif emic5, mementingkan kedalaman informasi daripada cakupan penelitian. Sehingga penelitian lebih berupa siklus dan proses pengumpulan data secara simultan. Dasar paradigma yang diacu dalam paradigma kualitatif adalah tetap memandang manusia bertindak rasional, namun dalam penyelesaian masalah hidup sehari hari adalah menggunakan ”penalaran praktis” , bukan logika formal.

PENTINGNYA BELAJAR MATEMATIKA

A. PENDAHULUAN

Menyimak pendidikan di Indonesia khususnya matematika di sekolah, baik di tingkat dasar sampai dengan tingkat lanjutan, belum pernah memberikan hal yang menggembirakan, baik untuk skala nasional maupun internasional. Indonesia masih jauh tertinggal oleh negara-negara lain meski di kancah Internasional secara individu siswa Indonesia ada yang berprestasi namun hal itu bukan merupakan potret dari pendidikan di Indonesia.
Bukan tidak disadari adanya hal tersebut oleh kalangan praktisi pendidikan, tapi justru kini tengah menjadi bahan pengembangan oleh pemerintah (Depdiknas) yang terus berupaya mengganti (memperbaiki) kurikulum berkali-kali meski kajian belum juga dilakukan. Namun apakah usaha tersebut memperbaiki mutu pendidikan di Indonesia? jawabnya jelas itu bukan solusi.
Beberapa hal yang menjadi kendala bagi pendidikan di Indonesia terutama pendidikan matematika, diantaranya adalah adanya kurikulum yang dikembangkan dengan hanya berdasar teori atau mencontoh atau mengadop dari kurikulum negara lain tanpa dikembangkan dari kasanah negeri sendiri, terlalu ingin cepat melihat hasil sehingga proses dinomorduakan, melupakan bahwa pendidikan adalah investasi masa depan yang hasilnya tidak dapat langsung dirasakan. Berikutnya adalah paradigma pembelajaran masih mengutamakan pandangan behaviorisitik, sehingga pemahaman dari pengetahuan yang diperoleh siswa jadi berkurang. Dari factor human, loyalitas guru terhadap tujuan pendidikan sangat berkurang (tidak tahu? atau tidak mau tahu?), yang ada hanya yang penting mengajar, target kurikulum seringkali menjadi tujuan utama, yaitu materi sudah disampaikan kepada siswa, hal ini karena Diknas membuat kurikulum masih merupakan “dewa” yang harus diikuti sihingga pendidikan jadi berbelok arah, yaitu agar “dewa” senang. 

B. Pentingnya Pembelajaran Matematika

Sepercik harapan akan pembelajaran matematika di sekolah yang lebih baik dan bermutu terbesit disetiap guru khususnya para guru matematika. Sudah bukan zamannya lagi matematika menjadi momok yang menakutkan bagi siswa di sekolah. Jika selama ini matematika dianggap sebagai ilmu yang abstrak dan kering, teoretis dan hanya berisi rumus-rumus, seolah berada "di luar"-¬¬¬¬¬¬¬¬¬mengawang jauh dan tidak bersinggungan dengan realitas kehidupan siswa-kini saatnya bagi siswa untuk akrab dan familier dengan matematika.
Tony Buzan, penemu dan pengembang metode mind map, menganalogikan bahwa belajar matematika ibaratnya membangun rumah-rumahan dari kartu. Setiap kartu harus berada di tempatnya sebelum kartu berikutnya ditambahkan. Kalau ada kartu yang keliru letaknya atau salah satu saja kartu yang goyah maka seluruh bangunan rumah-rumahan tersebut akan roboh.
Kalau analogi Buzan tersebut akan dikembangkan dalam wacana pembelajaran di ruang kelas maka dengan terpaksa kita harus menyoroti pembelajaran yang diaksanakan oleh guru karena memang gurulah secara formal yang pertama kali mengenalkan matematika kepada anak-anak. Cukup banyak anak-anak yang tidak pernah berhasil membangun rumah-rumahan kartu tersebut bahkan kewalahan di saat-saat awal mereka mengenal matematika karena guru tidak mampu menguatkan sekaligus mengutuhkan bagian-bagian dari rumah-rumahan kartu tersebut.
Satu hal lagi yang sangat menarik bahwa matematika dalam kurun ”zaman keemasan” para kaum Muslimin sekitar abad ke-delapan, adalah salah satu bidang ilmu yang paling digemari karena ada kaitannya dengan kebutuhan religi, misalnya untuk menghitung warisan dan kalender Islam, penentuan waktu shalat, menentukan waktu yang akurat dari gerakan bulan dan bintang, dan sebagainya. Sebagaimana diungkap oleh Mohaini Mohamed (2001) bahwa matematika menjadi kegemaran utama bagi kaum muslimin ketika itu karena bidang itu menggabungkan kesatuan dan karakter abstrak dari pemikiran Islam. Matematika tidak dianggap sebagai ajaran sekuler, tetapi lebih sebagai sarana untuk menyalurkan pemahaman pada bidang yang dapat dimengerti. Matematika, menurut kaum muslimin merupakan kunci menguak misteri tentang Tuhan.
Antusiasme relegius yang digambarkan diatas sekaligus menorehkan prinsip matematika dari sudut transendental bahwa Tuhan ada di segala tempat di alam semesta yang di dasarkan pada prinsip kepastian. Maka seperti yang dibukukan dalam sejarah, perkembangan dan produktivitas matematika terutama pada abad sembilan dan sepuluh seolah mengalami keajaiban yang luar biasa dikalangan matematikawan Islam.
Belajar matematika adalah sesuatu yang cukup. Ini merupakan suatu syarat kecukupan. Mengapa? Karena dengan belajar matematika, kita akan belajar bernalar secara kritis, kreatif dan aktif. Sekaligus pada saat yang sama, kita akan mengamati keberdayaan matematika (power of mathematics) dan tentunya menumbuh kembangkan kemampuan learning to learn. Jadi, kecuali untuk mendapatkan daya matematika itu sendiri sebagai alat penyelesai permasalahan dalam kehidupan nyata, kita belajar matematika sebagai suatu wahana yang memfasilitasi kemampuan bernalar, berkomunikasi, dan peningkatan kepercayaan diri dalam bermatematika. Tentunya kemampuan bernalar yang dipunyai anak didik melalui proses belajar matematika itu akan meningkatkan pula kesiapannya untuk menjadi lifetime learner atau pemelajar sepanjang hayat.

C. Potret Pembelajaran Matematika

Perspektif sejarah biasanya menjadi referensi kecil untuk merenungkan bagimana potret matematika kita disini, saat ini. Sudahkan kita (pemerintah, masyarakat, politisi, semua elemen bangsa ini) memberikan apresiasi secara memadai terhadap persoalan matematika di negeri ini?
Pembelajaran matematika di sekolah-sekolah kita hingga saat ini ibarat benang kusut yang sulit diurai. Kita masih berkutat di sekitar persoalan pembelajaran yang berkaitan dengan model pembelajaran matematika, alat peraga dan sebagainya, dan beriringan dengan itu kita dihadapkan kepada kenyataan kemampuan para guru matematika kita yang belum memadai. Kita seolah mundur beberapa abad dan baru mulai meraba-raba seperti apa pembelajaran matematika yang kita butuhkan. Kita tidak lagi punya kesempatan yang luas untuk mengembangkan proses pembelajaran kita ketingkat yang lebih tinggi (lebih bermakna) semisal membawanya kepada pesan transendental sebagaimana capaian-capaian yang ditunjukkan para pendahulu kita beberapa abad yang lalu.
Kemelut itu bahkan tidak berakhir sampai disitu. Ketika kita kemudian berpikir tentang inovasi, kita masih terperangkap dalam situasi jangka pendek. Ada terget standar kelulusan pada ujian nasional – misalnya -- yang menjadi acuan penilaian keberhasilan pembelajaran di sekolah. Maka kemudian kita gulirkan program –program ”instan” untuk mengatasi persoalan Ujian Nasional tersebut. Dari tahun ke tahun, hampir semua sekolah menyiapkan program khusus untuk mengantisipasi ujian nasional tersebut. Akhirnya kita sulit membantah ketika ada tudingan bahwa pembelajaran di sekolah ”ujung-ujungnya” adalah untuk melayani kebutuhan ujian dan kelulusan peserta didik.
Guru masih kesulitan untuk beranjak dari peran klasiknya sebagai penerus pengetahuan dan membantu para siswanya untuk naik kelas dan lulus ujian. Sebagai implikasinya, pembelajaran matematika, sebagaimana juga mata pelajaran lain di sekolah saat ini belum banyak menggarap dan mengembangkan sikap kritis serta kemandirian siswa. Ujian Nasional seolah telah menjadi kiblat pembelajaran di sekolah. Sebagian besar energi tersedot untuk kepentingan itu.
Singkatnya, penjelajahan kita di bumi pembelajaran matematika masih terbatas pada issu-issu yang kecil dan parsial. Ini sesuatu yang paradoksal, ketika kita ingin menggagas sebuah inovasi dengan perspektif jangka panjang dan strategis, disaat yang bersamaan kita dihadang oleh beban-beban jangka pendek yang sangat pragmatis, dan keduanya tidak selalu persis berada pada garis yang sama. Sayangnya kita justru selalu terjebak pada situasi yang kedua.
Seharusnya kita sudah ”jenuh” dengan berbagai data tentang kelemahan dan kekurangan bangsa kita pada berbagai sektor kehidupan. Kita sudah lelah memandangi potret buram pendidikan kita. Namun, Impactnya secara positif dari sajian fakta-fakta tersebut ternyata tidak muncul. Bahkan hal itu sering menjadi bahan tertawaan kita sendiri.
Sekarang, kurikulum matematika yang kita gunakan saat ini padat dengan materi. Guru terbebani dengan target untuk menyelesaikan beban materi yang sangat besar. Jika ada dua guru bertemu, yang akan menjadi bahan pembicaraan adalah sampai di mana pembahasan materi di kelasnya. Bukan mendiskusikan bagaimana menyampaikan suatu materi dengan menarik. Yang terakhir ini sudah tidak sempat lagi diperbincangkan. Dan, tidak relevan dengan keadaan seperti sekarang.
Proses pembelajaran matematika yang disediakan di sekolah akibatnya tidak berjalan secara optimal. Mungkin jadi lebih tepatnya, yang ada hanyalah proses pengajaran matematika, bukan pembelajaran. Dalam pelajaran matematika yang seharusnya kita belajar bernalar, telah diubah menjadi pelajaran menghafal. Sangat aneh jika pelajaran matematika diberikan dengan guru yang ceramah di depan kelas atau "berbicara" dengan papan tulisnya, sedangkan muridnya hanya mencatat. Lalu, murid itu akan menghafal semua yang dicatatnya. Dan, pada saat ulangan nanti, murid itu cukup "memuntahkan" kembali info yang dicatatnya atau ditelannya. Ini semua terjadi hampir di setiap kelas. Ini jelas mengasingkan aktivitas bermatematika yang benar dengan pelajaran matematika.

Hal tersebut diatas didukung oleh beberapa faktor:
a. Peran guru
Guru dalam hal ini mendominasi kelas, yang berkuasa dan siswa dianggap sebagai obyek yang dikuasasi, diatur diarahkan, dibimbing. Semua ide-ide, informasi, pertanyaan, evaluasi dan penilaian berpusat pada guru. Guru hendak memindahkan semua yang dimiliki, jadi memberikan pengetahuan kepada siswa tidak membangun pengetahuan.
b. Perlakuan siswa
Semua siswa dianggap sama (walaupun kenyataannya masing-masing individu berbeda), baik dari bakat, minat, kemampuan, kesiapan belajar,dll. Dalam uji kemampuan semua siswa diberi soal dengan tingkat kesukaran yang sama, dengan harapan semua siswa maju bersama.
c. Pertanyaan
Hampir semua pertanyaan datangnya dari guru, siswa hanya menjawab dan menjawab. Sebagaian besar pertanyaan hanlah hanya tes ingatan ( mengingat rumus ).
d. Latihan soal
Soal-soal yang diberikan hanyalah penerapan dari rumus, tidak memberikan pancingan kepada siswa untuk berpikir. Yang penting adalah jawaban.
e. Interaksi
Interaksi belajar satu arah, yaitu dari guru ke siswa. Siswa hampir tidak diberikan kesempatan memberikan umpan balik kepada guru. Sehingga guru dianggap satu-satunya yang paling pintar di kelas tersebut.
f. Sumber belajar
Sumber belajar yang ada hanyalah guru dan buku itupun sedikit / tidak semua siswa punya buku sumber. 
g. Alat bantu ( media ) belajar
Alat bantu yang digunakan biasanya hanya talk dan chalk. Guru biasanya kurang kreatif, malas, apalagi berinovatif untuk berprakarsa membuat alat bantu atau media yang sesuai.
h. Variasi kegiatan
Kegiatan belajar biasanya hanya : Rumus – latihan soal – soal. Mengikuti urutan baku yang ada dalam buku (sesekali mencatat, bercerita, bertanya, latihan soal) merupakan rutinitas setiap harinya.
i. Pengelolaan kelas
Pembelajaran kebanyakan dilakukan secara klasikal atau kelompok besar. Hampir tidak pernah dicoba untuk melaksanakan pembelajaran kooperatif. Jadi kemampuan individu yang bervariasi terabaikan dan kurang diperhatikan.
j. Penilaian
Penilaian dan bentuk soal kurang variatif. Biasanya hanya ulangan harian dan ulangan umum

Mensikapi dari potret guru matematika diatas yeng penting sekarang adalah bagaimana kita sebagai calon guru matematika melakukan perubahan (hijrah) terhadap paradigma lama pembelajaran matematika ke paradigma baru, untuk disesuaikan dengan pembelajaran yang sesuai dengan keadaan saat ini. Bagaimana potret pembelajaran matematika yang sesuai dengan keadaan saat ini? Adalah pembelajaran yang inovatif. Menurut Dr. Marsigit (2008 : Nilai Matematika dan Nilai Luhur Bangsa) dikemukakan bahwa ,” Transfer of knowlwdge “, dari guru ke murid telah dianggap sebagai paradigma yang kurang sesuai denga hakekat mendidik. Lebih lanjut dijelaskan oleh beliau, sebagai alternatifnya dikembangkan paradigma baru yaitu “Cognitive-development” sebagai upaya untuk mengembangkan potensi sibelajar. Hal tersebut tentunya dapat dipahami bahwa pembelajaran progresif (inovatif) – lah yang dimaksud.
Pada dasarnya kita ketahui bersama bahwa matematika senantiasa ada pada semua kurikulum sekolah. Entah itu tingkat Taman Kanak-kanak sampai tingkat Perguruan Tinggi, matematika senantiasa termasuk salah satu materi yang tercakup dalam kurikulum. Akan tetapi kurikulum matematika yang kita gunakan saat ini padat dengan materi dan tidak relevan dengan kedaan sekarang ini.
Dengan demikian solusi untuk permasalahan pendidikan di Indonesia khususnya yang berhubungan dengan kurikulum dapat di atasi dengan berbagai langkah diantaranya:
1. Kurikulum dikembangkan atas dasar kasanah dalam negeri sendiri, sesuai dengan kondisi baik lingkungan maupun siswa.
2. Target kurikulum jangan dijadikan “dewa” dalam pendidikan, namun dimulai dengan menetapkan prinsip dan standar yang jelas, dan itu diberikan otonomi kepada sekolah bersangkutan.
3. Bangun sikap loyalitas para guru dengan tujuan pendidikan yang sebenarnya.
4. Kembangkan paradigma pembelajaran yang konstruktif.

D. PEMIKIRAN KEARAH PEMBELAJARAN MATEMATIKA YANG LEBIH BAIK.

Sebagai bangsa kita memang telah mangalami multi krisis yang luar biasa tetapi itu belum berarti ”kiamat” karena kita masih punya ruang yang amat luas untuk menyatukan seluruh potensi yang mungkin masih berserakan, dan dengan itu pula kita membangun optimisme untuk membimbing anak-anak kita membangun utuh rumah-rumahan kartu mereka untuk menuju rumah yang sesungguhnya yaitu sebuah masa depan yang bermartabat.
Menyikapi hal-hal yang terjadi sekarang ini, kita semua harus menanggalkan bayangan-bayangan kelemahan dan kegagalan dan mulai fokus kepada kekuatan yang kita miliki. Dengan cara menumbuh suburkan self confidence dan mulai mengurangi kekaguman yang berlebihan terhadap semua ”produk” dari luar. Terkait dengan pembelajaran matematika misalnya, kita masih memiliki peluang besar untuk melakukan inovasi secara optimal. Eksistensi PPPG atau PPPPTK Matematika dengan segala potensi yang dimilikinya merupakan simbol sekaligus situs yang sangat strategis untuk menggagas dan mengembangkan konsep-konsep inovasi pembelajaran matematika sesuai dengan karakteristik dan realitas permasalahan pendidikan matematika yang dihadapi. PPPG matematika memiliki SDM yang tangguh dan networking yang luas dan hal itu cukup memadai untuk melahirkan suatu inovasi dalam pembelajaran matematika. Dengan melakukan starting pada wilayah kekuatan kita, berbasis pada permasalahan esensial yang kita hadapai, plus menyerap muatan-muatan dari berbagai referensi yang relevan, maka peluang kita akan lebih besar untuk melahirkan konsep yang aplicable dan responsif terhadap kebutuhan permasalahan pendidikan matematika di sekolah kita.
Permasalahan lainnya yang perlu disinggung di sini adalah persepsi yang berkembang pada diri anak didik bahwa matematika adalah sesuatu ilmu pengetahuan yang tidak ada manfaatnya. Ini tentunya sangat menyedihkan. Matematika memang suatu ilmu yang abstrak. Mungkin pula sulit dicerna. Ini wajar. Namun, kita sebagai calon guru haruslah senantiasa berupaya menunjukkan relevansi matematika dalam kehidupan nyata. Ini suatu keharusan. Dengan mekarnya persepsi tentang tidak relevannya atau tak bermanfaatnya matematika, motivasi belajar matematika anak didik menjadi turun. Atau malahan menjadi hilang. Akibatnya, banyak dari siswa-siswa itu menghafal matematika bukan memahaminya.
Oleh karena itu kita harus mengubah persepsi anak tentang matematika salah satunya dengan cara pembelajaran Matematika realistik. Matematika Realistik (MR) merupakan matematika sekolah yang dilaksanakan dengan menempatkan realitas dan pengalaman siswa sebagai titik awal pembelajaran. 
Pembelajaran MR menggunakan masalah realistik sebagai pangkal tolak pembelajaran, dan melalui matematisasi horisontal-vertikal siswa diharapkan dapat menemukan dan merekonstruksi konsep-konsep matematika atau pengetahuan matematika formal. Selanjutnya, siswa diberi kesempatan menerapkan konsep-konsep matematika untuk memecahkan masalah sehari-hari atau masalah dalam bidang lain. Dengan kata lain, pembelajaran MR berorientasi pada matematisasi pengalaman sehari-hari (mathematize of everyday experience) dan menerapkan matematika dalam kehidupan sehari-hari (everydaying mathematics), sehingga siswa belajar dengan bermakna (pengertian).
Pembelajaran MR berpusat pada siswa, sedangkan guru hanya sebagai fasilitator dan motivator, sehingga memerlukan paradigma yang berbeda tentang bagaimana siswa belajar, bagaimana guru mengajar, dan apa yang dipelajari oleh siswa dengan paradigma pembelajaran matematika selama ini. Karena itu, perubahan persepsi guru tentang mengajar perlu dilakukan bila ingin mengimplementasikan pembelajaran matematika realistik. 
Sesuai dengan simpulan di atas, maka disarankan: 
1. kepada pakar atau pencinta pendidikan matematika untuk melakukan penelitian-penelitian yang berorientasi pada pembelajaran MR sehingga diperoleh global theory pembelajaran MR yang sesuai dengan sosial budaya Indonesia, dan 
2. kepada guru-guru matematika untuk mencoba mengimplementasikan pembelajaran MR secara bertahap, misalnya mulai dengan memberikan masalah-masalah realistik untuk memotivasi siswa menyampaikan pendapat.

INSTRUMEN PENILAIAN NON TES

PENDAHULUAN

Pengajaran merupakan upaya guru secara konkret dilakukan untuk menyampaikan bahan kurikulum agar dapat diserap oleh murid. Pengajaran sebagai suatu sistem terdiri dari berbagai komponen berupa tujuan, bahan, metode, dan alat serta penilaian. Dalam hubungan itu, tujuan menempati posisi kunci. Bahan adalah isi pengajaran yang apabila dipelajari siswa diharapkan tujuan akan tercapai. Metode dan alat berperan sebagai alat pembantu untuk memudahkan guru dalam mengajar dan murid dalam belajar. Sedangkan penilain dimaksudkan untuk mengetahui sejauh manakah murid telah mengalami proses pembelajaran yang ditujukan oleh perubahan perilakunya.
Hasil belajar dari proses belajar tidak hanya dinilai oleh test, tetapi juga harus dinilai oleh alat-alat non test atau bukan test. Penilaian ini bertujuan untuk mengetahui sikap dan sifat-sifat kepribadian murid yang berhubungan dengan kegitan belajar. Sasaran test ini adalah perbuatan, ucapan, kegiatan, pengalaman,tingkah laku, riwayat hidup, dan lain-lain. Menurut Hasyim (1997;9) ”penilaian non test adalah penilaian yang mengukur kemampuan siswa-siswa secara langsung dengan tugas-tugas yang riil”.
Adapun menurut Sudjana (1986;67), kelebihan non test dari test adalah sifatnya lebih komprehensif, artinya dapat digunakan untuk menilai berbagai aspek dari individu sehingga tidak hanya untuk menilai aspek kognitif, tetapi juga aspek efektif dan psikomotorik, yang dinilai saat proses pelajaran berlangsung.
Disini pemakalah akan membahas secara lebih lanjut tentang pengembangan instrumen non tes.

PEMBAHASAN

A. Hakikat Penilaian 
Penilaian merupakan rangkaian kegiatan untuk memperoleh, menganalisis, dan menafsirkan data tentang proses dan hasil belajar peserta didik yang dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan, sehingga menjadi informasi yang bermakna dalam pengambilan keputusan. 
Penilaian dalam KTSP adalah penilaian berbasis kompetensi, yaitu bagian dari kegiatan pembelajaran yang dilakukan untuk mengetahui pencapaian kompetensi peserta didik yang meliputi pengetahuan, keterampilan, dan sikap. Penilaian dilakukan selama proses pembelajaran dan/atau pada akhir pembelajaran. Fokus penilaian pendidikan adalah keberhasilan belajar peserta didik dalam mencapai standar kompetensi yang ditentukan. Pada tingkat mata pelajaran, kompetensi yang harus dicapai berupa Standar Kompetensi (SK) mata pelajaran yang selanjutnya dijabarkan dalam Kompetensi Dasar (KD). Untuk tingkat satuan pendidikan, kompetensi yang harus dicapai peserta didik adalah Standar Kompetensi Lulusan (SKL).
Kualitas pendidikan sangat ditentukan oleh kemampuan satuan pendidikan dalam mengelola proses pembelajaran. Penilaian merupakan bagian yang penting dalam pembelajaran. Dengan melakukan penilaian, pendidik sebagai pengelola kegiatan pembelajaran dapat mengetahui kemampuan yang dimiliki peserta didik, ketepatan metode mengajar yang digunakan, dan keberhasilan peserta didik dalam meraih kompetensi yang telah ditetapkan. Berdasarkan hasil penilaian, pendidik dapat mengambil keputusan secara tepat untuk menentukan langkah yang harus dilakukan selanjutnya. Hasil penilaian juga dapat memberikan motivasi kepada peserta didik untuk berprestasi lebih baik.





B. Pengertian Penilaian Non Test
Belajar dan mengajar mengandung 3 unsur yaitu perencanaan pengajaran, kegiatan belajar mengajar dan penilaian . Pada dasarnya penilaian atau evaluasi bukan hal yang baru dalam proses pencapaian tujun pengajaran, karena penilaian merupakan tuntutan logis dari hakikat belajar mengajar. Hal ini disebabkan karena dari seluruh rangkaian belajar mengajar, penilaian menentukan dan mengukur seberapa besar pelajaran yang sudah dikuasai oleh anak didik, dan apakah kegiatan pengajaran yang telah dilaksanakan sesuai dengan yang diharapkan (Hasan dan Zainul, 1992). 
Ditinjau dari segi bahasa, sebagaimana dikutip dari buku Kamus lengkap Bahasa Indonesia, dijelaskan bahwa penilaian diartikan sebagai proses menggunakan nilai suatu objek untuk dapat menentukan suatu nilai atau hanya suatu objek diperlukan adanya ukuran atau kriteria (Poerwaderminta, 1984: 671). Sedangkan menurut Sudjana (1989: 3), “Penilaian adalah proses memberikan atau menentukan nilai kepada objek tertentu berdasarkan suatu criteria tertentu”. Adapun menurut Hasyim (1997: 103), “Penilaian meliputi seluruh proses dan alat yang digunakan oleh guru untuk mengambil keputusan mengenai perkembangan atau penilaian hasil belajar siswanya”.
Dari beberapa pendapat di atas, maka penilaian diartikan sebuah istilah umum yang menunjukkan sebuah rentang segala prosedur yang digunakan untuk memperoleh informasi mengenai belajar siswa (pengamatan, penilaian, penampilan atau proyek test tertulis) dan pembentukan nilai dan pertimbangan mengenai kemajuan belajar siswa.
Mengingat penilaian proses belajar adalah upaya memberi nilai terhadap kegiatan belajar yang digunakan baik siswa maupun guru dan pencapaian tujuan-tujuan pengajaran, maka dalam penilaian yang dilihat sejauh mana keefektifan dalam efisiensinya dalam mencapai tujuan pengajaran atau perubahan tingkah laku siswa. Oleh sebab itu, penilaian hasil dan proses belajar saling berkaitan satu sama lain sebab hasil merupakan akibat dari proses. 
Pada umumnya alat penilaian dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu test dan non test. Kedua jenis ini dapat digunakan untuk menilai sasaran penilaian. Menurut Sudjana (1989:6) “Pengertian test sebagai alat penilaian adalah pernyataan-pernyataan yang diberikan pada siswa untuk mendapat jawaban dari siswa dalam bentuk lisan (test lisan) dan dalam bentuk tertulis (test tertulis) atau dalam bentuk perbuatan (test tindakan)”.
Pada umumnya penilaian non test adalah penilaian pengamatan perubahan tingkah laku yang berhubungan dengan apa yang dapat diperbuat atau dikerjakan oleh peserta didik dibandingkan dengan apa yang diketahui atau dipahaminya. Dengan kata lain penilaian non test behubungan dengan penampilan yang dapat diamati dibandingkan dengan pengetahuan dan proses mental lainnya yang tidak dapat diamati oleh indera.
Adapun menurut Hasyim (1997: 8) ”Penilaian non test adalah penilaian yang mengukur kemampuan siswa secara langsung dengan tugas-tugas riil dalam proses pembelajaran. Contoh penilaian non test banyak terdapat pada keterampilan menulis untuk bahasa, percobaan laboratorium sains, bongkar pasang mesin, teknik dan sebagainya”. 
Disamping penilaian non test merupakan suatu kesatuan dengan penilaian test lainya, karena test pada dasarnya menilai apa yang diketahui, dipahami, diaplikasikan atau yang dapat dilakukan oleh pesrta didik dalam tingkatan proses mental yang lebih tinggi. Meskipun itu dapat didemonstrasi dalam tingkah lakunya. Karena itu dibutuhkan beberapa penilaian non test yang merupakan bagian keseluruhan dari penilaian hasil belajar peserta didik. Dan penilaian non test ini pula merupakan penilaian otentik yang menilai keterampilan dan pemahaman dengan menilai secara langsung performa murid dengan setting yang alami.
Meskipun bentuk-bentuk test formal sangat lazim digunakan sampai pada test yang digunakan, tetap saja ditemukan berbagai kelemahan didalam sistemnya. Kelemahan tersebut antara lain penilaian yang hanya berfokus pada aspek kognitif dengan materi dan keterampilan yang sangat terbatas, tidak memerlukan nalar dan keterampilan pemecahan masalah,serta tidak menilai menerapkan secara langsung dalam dunia nyata untuk mengatasinya, diperlukan jenis penilaian lain yaitu non test.

C. Fungsi Penilaian Non Test.
Inti penilaian adalah proses memberikan atau menentukan nilai pada objek tertentu berdasarkan suatu criteria tertentu. Mengimplementasikan adanya suatu perbandingan antara criteria dan kenyataan dalam konteks situasi tertentu. Hal ini mengisyaratkan bahwa objek yang dinilainya adalah hasil belajar siswa, yaitu adanya perubahan tingkah laku sebagai hasil belajar dalam pengertian yang luas mencakup bidang kognitif, efektif dan psikomotorik. Penilaian proses belajar adalah upaya memberi nilai terhadap kegiatan belajar mengajar yang dilakukan oleh guru dalam mencapai tujuan pengajaran. Sejauh mana keaktifan dan efisiensinya dalam perubahan tingkah laku siswa.
Sejalan dengan pengertian tentang penilaian non test yang dikemukakan oleh Hasyim (1997:6), penilaian non test berfungsi antara lain sebagai berikut:

  1.  Alat untuk mengetahui tercapai tidaknya tujuan instruksional. Dengan fungsi ini maka penilaian dapat mengacu pada rumusan-rumusan instruksional.
  2. Umpan balik bagi perbaikan proses belajar mengajar, perbaikan mungkin dilakukan dalam hal tujuan instruksional, kegiatan siswa, strategi mengajar guru, dan lain-lain.
  3. Dalam menyusun laporan pengajuan belajar siswa kepada para orang tuanya. Dalam laporan tersebut dikemukakan kemampuan dan kecakapan belajar siswa dalam berbagai bidang studi dalam bentuk nila-nilai prestasi yang didapatnya.
  4. Dapat digunakan untuk menilai berbagai aspek kognitif tetapi juga aspek afektif dan psikomotorik.
  5. Dapat memberikan pertanggung jawaban (accountability) dari pihak sekolah pada pihak pihak yang lain, karena diperoleh langsung dari proses belajar baik di kelas, laboratorium, lapangan, dan lain-lain.


D. Teknik Non – Test
Teknik non-tes merupakan prosedur mengumpulkan data untuk memahami pribadi siswa pada umumnya bersifat kualitatif.
Alat penilaian dapat berarti teknik evaluasi. Tehnik evaluasi nontes berarti melaksanakan penilain dengan tidak mengunakan tes. Tehnik penilaian ini umumnya untuk menilai kepribadian anak secara menyeluruh meliputi sikap, tingkah laku, sifat, sikap sosial, ucapan, riwayat hidup dan lain-lain. Yang berhubungan dengan kegiatan belajar dalam pendidikan, baik secara individu maupun secara kelompok.
Alat penilaian yang non-test, yang biasanya menyertai atau inheren dalam pelaksanaan proses belajar mengajar sangat banyak macamnya. Di antaranya bisa disebutkan adalah observasi (baik dengan cara langsung, tak langsung, maupun partisipasi), wawancara (terstruktur atau bebas), angket (tertutup atau terbuka), sosiometri, checklist, concept map, portfolio, student journal, pertanyaan-pertanyaan, dan sebagainya.
Keberhasilan siswa dalam proses belajar-mengajar tidak dapat diukur dengan alat tes. Sebab masih banyak aspek-aspek kemampuan siswa yang sulit diukur secara kuantitatif dan mencakup objektifitas misalnya aspek efektif psikomotor.

Beberapa macam teknik non-tes diantaranya yaitu:
1. Observasi (pengamatan)
Yaitu teknik atau cara mengamati suatu keadaan atau suatu kegiatan (tingkah laku). Yang paling berperan disini adalah panca indra atau pengindraan terutama indra penglihatan. Selain itu observasi merupakan suatu pengamatan langsung terhadap siswa dengan memperhatikan tingkah lakunya. Secara umum observasi adalah cara menghimpun bahan-bahan keterangan (data) yang dilakukan dengan mengadakan pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap fenomena-fenomena yang sedang dijadikan sasaran pengamatan.
Adapun ciri-ciri observasi sebagai berikut:
 dilakukan sesuai dengan tujuan yang dirumuskan terlebih dahulu
 direncanakan secara sistematis
 hasilnya dicatat dan diolah sesuai tujuan
 perlu diperiksa ketelitiannya.

a. Pembagian Observasi
Menurut cara dan tujuannya observasi dapat dibedakan menjadi 3 macam:
1) Observasi partisipatif dan non-partisipatif
Observasi partisipatif adalah observasi dimana orang yang mengobservasi (observer) ikut ambil bagian alam kegiatan yang dilakukan oleh objek yang diamatinya. Sedangkan observasi non-partisipatif, observasi tidak mengambil bagian dalam kegiatan yang dilakukan oleh objeknya. Atau evaluator berada “diluar garis” seolah-olah sebagai penonton belaka. Contoh observasi partisipatif : Misalnya guru mengamati setiap anak. Kalau observasi non-partisipatif, guru hanya sebagai pengamat, dan tidak ikut bermain.
2) Observasi sistematis dan observasi non-sitematis 
Observasi sistematis adalah observasi yang sebelum dilakukan, observer sudah mengatur sruktur yang berisi kategori atau kriteria, masalah yang akan diamati. Sedangkan observasi non-sistematis yaitu apabila dalam pengamatan tidak terdapat stuktur ketegori yang akan diamati.
Contoh observasi sistematis misalnya guru yang sedang mengamati anak-anak menanam bunga. Disini sebelum guru melaksanakan observasi sudah membuat kategori-kategori yang akan diamati, misalnya tentang: kerajinan, kesiapan, kedisiplinan, ketangkasan, kerjasama dan kebersihan. Kemudian ketegori-kategori itu dicocokkan dengan tingkah laku murid dalam menanam bunga.
Kalau observasi nonsistematis maka guru tidak membuat kategori-kategori diatas, tetapi langsung mengamati anak yang sedang menanam bunga.
3) Observasi Eksperimental
Observasi eksperimental adalah observasi yang dilakukan secara non-partisipatif tetapi sistematis. Tujuannya untuk mengetahui atau melihat perubahan, gejala-gejala sebagai akibat dari situasi yang sengaja diadakan.
Sebagai alat evaluasi , observasi digunakan untuk:

  • Menilai minat, sikap dan nilai yang terkandung dalam diri siswa.
  • Melihat proses kegiatan yang dilakukan oleh siswa maupun kelompok.
  • Suatu tes essay / obyektif tidak dapat menunjukan seberapa kemampuan siswa dapat menjelaskan pendapatnya secara lisan, dalam bekerja kelompok dan juga kemampuan siswa dalam mengumpulkan data.


b. Sifat Observasi 
Observasi yang baik dan tepat harus memilki sifat-sifat tertentu yaitu:

  • Hanya dilakukan sesuai dengan tujuan pengajaran
  • Direncanakan secara sistematis
  • Hasilnya dicatat dan diolah sesuai dengan tujuan
  • Dapat diperiksa validitas, rehabilitas dan ketelitiannya.


c. Kelebihan dan Kelemahan Observasi
Observasi sebagai alat penilain non-tes, mempunyai beberapa kelebihan, antara lain:

  • Observasi dapat memperoleh data sebagai aspek tingkah laku anak.
  • Dalam observasi memungkinkan pencatatan yang serempak dengan terjadinya suatu gejala atau kejadian yang penting
  • Observasi dapat dilakukan untuk melengkapi dan mencek data yang diperoleh dari teknik lain, misalnya wawancara atau angket
  • Observer tidak perlu mengunakan bahasa untuk berkomunikasi dengan objek yang diamati, kalaupun menggunakan, maka hanya sebentar dan tidak langsung memegang peran.



Selain keuntungan diatas, observer juga mempunyai beberapa kelemahan, antara lain:

  1.  Observer tidak dapat mengungkapkan kehidupan pribadi seseorang yang sangat dirahasiakan. Apabila seseorang yang diamati sengaja merahasiakan kehidupannya maka tidak dapat diketahui dengan observasi. Misalnya mengamati anak yang menyayi, dia kelihatan gembira, lincah . Tetapi belum tentu hatinya gembira, dan bahagia. Mungkin sebaliknya, dia sedih dan duka tetapi dirahasiakan.
  2. Apabila si objek yang diobservasi mengetahui kalau sedang diobservasi maka tidak mustahil tingkah lakunya dibuat-buat, agar observer merasa senang.
  3. Observer banyak tergantung kepada faktor-faktor yang tidak dapat dapat dikontrol sebelumya.

Langkah-langkah menyusun observasi :
1. Merumuskan tujuan
2. Merumuskan kegiatan
3. Menyusun langkah-langkah
4. Menyusun kisi-kisi
5. Menyusun panduan observasi
6. Menyusun alat penilaian

2. Wawancara (Interview)
Wawancara, suatu cara yang dilakukan secara lisan yang berisikan pertanyaan-pertanyaan yang sesuai dengan tujuan informasi yang hendak digali. wawancara dibagi dalam 2 kategori, yaitu pertama, wawancara bebas yaitu si penjawab (responden) diperkenankan untuk memberikan jawaban secara bebas sesuai dengan yang ia diketahui tanpa diberikan batasan oleh pewawancara. Kedua adalah wawancara terpimpin dimana pewawancara telah menyusun pertanyaan pertanyaan terlebih dahulu yang bertujuan untuk menggiring penjawab pada informasi-informasi yang diperlukan saja.
Wawancara adalah suatu tehnik penilain yang dilakukan dengan jalan percakapan (dialog) baik secara langsung (face to face relation) secara langsung apabila wawancara itu dilakukan kepada orang lain misalnya kepada orang tuannya atau kepada temanya. Keberhasilan wawancara sebagai alat penilaian sangat dipengaruhi oleh beberapa hal : 
1. Hubungan baik pewawancara dengan anak yang diwawancarai. Dalam hal ini hendaknya pewawancara dapat menyesuikan diri dengan orang yang diwawancarai
2. Keterampilan pewawancara
Keterampilan pewawancara sangat besar pengaruhnya terhadap hasil wawancara yang dilakukan, karena guru perlu melatih diri agar meiliki keterampilan dalam melaksanakan wawancara.
3. Pedoman wawancara 
Keberhasilan wawancara juga sangat dipengaruhi oleh pedoman yang dibuat oleh guru sebelum guru melaksanakan wawancara harus membuat pedoman-pedoman secara terperinci, tentang pertanyaan yang akan diajukan.

Langkah-langkah penyusunan wawancara :
1. Perumusan tujuan
2. Perumusan kegiatan atau aspek-aspek yang dinilai
3. Penyusunan kisi-kisi
4. Penyusunan pedoman wawancara
5. Lembaran penilaian

Kelebihan dan kelemahan wawancara
Kelebihan wawancara yaitu :
1. Wawancara dapat memberikan keterangan keadaan pribadi hal ini tergantung pada hubungan baik antara pewawancara dengan objek
2. Wawancara dapat dilaksanakan untuk setiap umur dan mudah dalam pelaksaannya
3. Wawancara dapat dilaksanakan serempak dengan observasi
4. Wawancara dapat menimbulkan hubungan yang baik antara si pewawancara dengan objek.
5. Data tentang keadaan individu lebih banyak diperoleh dan lebih tepat dibandingkan dengan observasi dan angket.
Sedangkan Kelemahan wawancara:
1. Keberhasilan wawancara dapat dipengaruhi oleh kesediaan, kemampuan individu yang diwawancarai.
2. Kelancaran wawancara dapat dipengaruhi oleh keadaan sekitar pelaksaan wawancara
3. Wawancara menuntut penguasaan bahasa yang baik dan sempurna dari pewawancara 
4. Adanya pengaruh subjektif dari pewawancara dapat mempengaruhi hasil wawancara 

Ada dua jenis wawancara yang dapat pergunakan sebagai alat evaluasi, yaitu:
a. Wawancara terpimpin (Guided Interview) yang juga sering dikenal dengan istilah wawancara berstruktur (Structured Interview) atau wawancara sistematis (Systematic Interview) yaitu interview yang dilakukan oleh subyek evaluasi dengan cara mengajukan pertanyaan – pertanyaan yang sudah disusun terlebih dahulu. Jadi, dalam hal ini responden pada waktu menjawab pertanyaan tinggal memilih jawaban yang sudah disiapkan oleh penanya. Pertanyaan itu kadang-kadang bersifat sebagai yang memimpin, mengarahkan, dan penjawab sudah dipimpin oleh sebuah daftar cocok, sehingga dalam menulis jawaban ia tinggal membubuhkan tanda cocok di tempat yang sesuai keadaan responden.
b. Wawancara tidak terpimpin (Un-Guided Interview) yang sering dikenal dengan istilah wawancara sederhana (Simple Interview) atau wawancara tidak sistematis (Non-Systematic Interview), atau wawancara bebas, dimana responden mempunyai kebebasan untuk mengutarakan pendapatnya, tanpa dibatasi oleh patokan-patokan yang telah dibuat oleh subyek evaluasi.

3. Angket
Angket (kuesioner) merupakan alat pengumpul data melalui komunikasi tidak langsung, yaitu melalui tulisan. Angket ini berisi daftar pertanyaan yang bertujuan untuk mengumpulkan keterangan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan responden.
Beberapa petunjuk untuk menyusun angket:
 gunakan kata-kata yang tidak mempunyai arti lengkap
 susun kalimat sederhana tapi jelas
 hindari kata-kata yang sulit dipahami
 pertanyaan jangan bersifat memaksa untuk dijawab
 hindarkan kata-kata yang negatif dan menyinggung perasaan responden.

Tentang macam kuesioner, dapat ditinjau dari beberapa segi :
a) Ditinjau dari segi siapa yang menjawab:
(1) Kuesioner langsung
Kuesioner dikatakan langsung jika kuesioner tersebut dikirimkan dan diisi langsung oleh orang yang akan dimintai jawaban tentang dirinya.
(2) Kuesioner tidak langsung
Adalah kuesioner yang dikirimkan dan diisi oleh bukan orang yang diminta keterangannya. Kuisioner tidak langsung biasanya digunakan untuk mencari informasi tentang bawahan, anak, saudara, tetangga dan sebagainya
b) Ditinjau dari segi cara menjawabnya:
(1) Kuesioner tertutup
Adalah kuesioner yang disusun dengan menyediakan pilihan jawaban lengkap sehingga pengisi hanya tinggal memberi tanda pada jawaban yang dipilih.
(2) Kuesioner terbuka 
Adalah kuesioner yang disusun sedemikian rupa sehingga para pengisi bebas mengemukakan pendapat. Kuesioner terbuka disusun apabila macam jawaban pengisi belum terperinci dengan jelas sehingga jawabannya akan beraneka ragam. Keterangan tentang alamat pengisi, tidak mungkin diberikan dengan cara memilih pilihan jawaban yang disediakan. Kuesioner terbuka juga digunakan untuk meminta pendapat seseorang.

Angket sebagai alat penilaian terhadap sikap tingkah laku, bakat, kemampuan, minat anak, mempunyai beberapa kelebihan dan kelemahan.

Kelebihan angket antara lain:

  • Dengan angket kita dapat memperoleh data dari sejumlah anak yang banyak yang hanya membutuhkan waktu yang singkat.
  • Setiap anak dapat memperoleh sejumlah pertanyaan yang sama
  • Dengan angket anak pengaruh subjektif dari guru dapat dihindarkan

Sedangkan kelemahan angket, antara lain:

  • Pertanyaan yang diberikan melalui angket adalah terbatas, sehingga apabila ada hal-hal yang kurang jelas maka sulit untuk diterangkan kembali.
  • Kadang-kadang pertanyaan yang diberikan tidak dijawab oleh semua anak, atau mungkin dijawab tetapi tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya. Karena anak merasa bebas menjawab dan tidak diawasi secara mendetail.
  • Ada kemungkinan angket yang diberikan tidak dapat dikumpulkan semua, sebab banyak anak yang merasa kurang perlu hasil dari angket yang diterima, sehingga tidak memberikan kembali angket nya.

Langkah-langkah menyusun angket :
1. Merumuskan tujuan
2. Merumuskan kegiatan
3. Menyusun langkah-langkah
4. Menyusun kisi-kisi
5. Menyusun panduan angket
6. Menyusun alat penilaian

4. Catatan anekdot
Yaitu catatan otentik hasil observasi yang menggambarkan tingkah laku murid atau kejadian dalam situasi khusus, bisa menyangkut individu juga kelompok. Dengan menggunakan catatan anekdot guru dapat:
a. Memperoleh pemahaman yang lebih tepat tentang perkembangan anak.
b. Memperoleh pemahaman tentang sebab-sebab dari gejala tingkah laku murid.
c. Memudahkan dalam menyesuaikan diri dengan murid.

Catatan anekdot yang baik memiliki syarat-syarat sebagai berikut:
a. Objektif
Untuk mempertahankan objektivitas dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut:
 Catatan dibuat sendiri oleh guru.
 Pencatatan dilakukan segera setelah suatu kegiatan terjadi.
 Deskripsi dari suatu peristiwa dipisahkan dari tafsiran pencatatan sendiri.
b. Deskriptif
Catatan suatu peristiwa mengenai murid hendaknya lengkap disertai latar belakang, percakapan dicatat secara langsung, dan kejadian-kejadian dicatat secara tersusun sesuai dengan kejadiannya.
c. Situasi yang dicatat adalah situasi yang relevan dengan tujuan dan masalah yang sedang menjadi perhatian guru sesuai keadaan murid.

5. Autobiografi
Yaitu sebuah karangan pribadi seseorang (siswa) yang murni hasil dirinya sendiri tanpa dimasuki pikiran dari orang lain, ini lebih menjurus tentang pengalaman hidup, cita-cita dan lain sebagainya. Autobiografi bagi guru bertujuan untuk mengetahui keadaan murid yang berhubungan dengan minat, cita-cita, sikap terhadap keluarga, guru atau sekolah dan pengalaman hidupnya.
Autobiografi ini dalam pembuatannya dibagi kedalam dua jenis, yaitu karangan terstruktur dan tidak terstruktur.
1. Terstruktur
Karangan pribadi ini disusun berdasarkan tema (judul) yang telah ditentukan sebelumnya, seperti: cita-citaku, keluargaku, teman-temanku, masa kecilku dan sebagainya.
2. Tidak terstruktur
Di sini murid diminta membuat karangan pribadi secara bebas, dan tidak ditentukan kerangka karangan terlebih dahulu.

6. Sosiometri
Teknik ini bertujuan untuk memperoleh informasi dengan menghubungkan atau interaksi sosial diantara murid. Dengan sosiometri guru dapat mengetahui tentang:
 murid yang populer (banyak disenangi teman).
 murid yang terisolir (tidak dipilih/disukai teman).
 klik (kelompok kecil, 2-3 orang murid).
Sosiometri juga dapat digunakan untuk:
 memperbaiki hubungan insani diantara anggota-anggota kelompok tertentu.
 menentukan kelompok kerja
 meneliti kemampuan memimpin seorang individu dalam kelompok tertentu untuk suatu kegiatan tertentu.

7. Skala penilaian/ rating skala
Skala penilaian digunakan untuk mengetahui keterangan tentang proses pembelajaran, misalnya: sikap peserta didik dalam mengikuti pelajaran matematika.

8. Daftar cocok
Maksudnya adalah suatu tes yang berbentuk daftar pertanyaan yang akan dijawab dengan membubuhkan tanda cocok ( √ ) pada kolom yang telah disediakan.

9. Riwayat hidup
Ini adalah salah satu tehnik non tes dengan menggunakan data pribadi seseorang sebagai bahan informasi penelitian. Dengan mempelajari riwayat hidup maka subjek evaluasi akan dpat menarik suatu kesimpulan tentang kepribadian, kebiasaan dan sikap dari objek yang dinilai.

E. Pengembangan Instrumen Penilaian 
Pengembangan Instrumen Penilaian yang dikembangkan perlu memperhatikan hal-hal berikut : 

  • berhubungan dengan kondisi pembelajaran di kelas dan/atau di luar kelas.
  • relevan dengan proses pembelajaran, materi, kompetensi dan kegiatan pembelajaran.
  • menuntut kemampuan berpikir berjenjang, berkesinambungan, dan bermakna dengan mengacu pada aspek berpikir Taksonomi Bloom
  • mengembangkan kemampuan berpikir kritis seperti: mendeskripsikan, menganalisis, menarik kesimpulan, menilai, melakukan penelitian, memecahkan masalah, dsb.
  • mengukur berbagai kemampuan yang sesuai dengan kompetensi dasar yang harus dikuasai peserta didik.
  • mengikuti kaidah penulisan soal.

F. Langkah-Langkah Dalam Pengembangan Instrumen Non Tes
Langkah-langkah dalam pengembangan instrumen non tes (dilihat dari afektif dan psikomotor):
1. Menentukan spesifikasi instrumen
2. Menulis instrumen
3. Menentukan skala pengukuran
4. Menentukan penskoran
5. Menelaah instrument
6. Melakukan uji coba
7. Menganalisis hasil uji coba
8. Melaksanakan pengukuran
9. Menafsirkan hasil pengukuran


PENUTUP
Pada umumnya penilaian non test adalah penilaian pengamatan perubahan tingkah laku yang berhubungan dengan apa yang dapat diperbuat atau dikerjakan oleh peserta didik dibandingkan dengan apa yang diketahui atau dipahaminya. Dengan kata lain penilaian non test behubungan dengan penampilan yang dapat diamati dibandingkan dengan pengetahuan dan proses mental lainnya yang tidak dapat diamati oleh indera.
Pengembangan Instrumen Penilaian yang dikembangkan perlu memperhatikan hal-hal berikut : 

  • berhubungan dengan kondisi pembelajaran di kelas dan/atau di luar kelas.
  • relevan dengan proses pembelajaran, materi, kompetensi dan kegiatan pembelajaran.
  • menuntut kemampuan berpikir berjenjang, berkesinambungan, dan bermakna dengan mengacu pada aspek berpikir Taksonomi Bloom
  • mengembangkan kemampuan berpikir kritis seperti: mendeskripsikan, menganalisis, menarik kesimpulan, menilai, melakukan penelitian, memecahkan masalah, dsb.
  • mengukur berbagai kemampuan yang sesuai dengan kompetensi dasar yang harus dikuasai peserta didik.
  • mengikuti kaidah penulisan soal.

Langkah-langkah dalam pengembangan instrumen non tes (dilihat dari afektif dan psikomotor):
 Menentukan spesifikasi instrumen
 Menulis instrumen
 Menentukan skala pengukuran
 Menentukan penskoran
 Menelaah instrument
 Melakukan uji coba
 Menganalisis hasil uji coba
 Melaksanakan pengukuran
 Menafsirkan hasil pengukuran